Rabu, 01 April 2015

Cara Penyertifikatan Tanah Adat

Selasa, 03 Juni 2014

Pertanyaan:
 
 
Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4eddd7528cbe1/lt50c7006c988b1.jpg
Salam.
 
Secara umum dan awam, orang menyebut “tanah adat” ada 2 pengertian:
 
1.    Tanah “Bekas Hak Milik Adat” yang menurut istilah populernya adalah Tanah Girik, berasal dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum dikonversi menjadi salah satu tanah dengan hak tertentu (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak Guna Usaha) dan belum didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam-macam: girik, petok, rincik, ketitir dan lain sebagainya; atau
 
2.    Tanah milik masyarakat ulayat hukum adat, yang bentuknya seperti: tanah titian, tanah pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok dll (sebagai referensi silakan baca Pengolaan dan Pemanfaatan Tanah Bengkok). Untuk jenis tanah milik masyarakat hukum adat ini tidak bisa disertifikatkan begitu saja. Kalau pun ada, tanah milik masyarakat hukum adat dapat dilepaskan dengan cara tukar guling (ruislag) atau melalui pelepasan hak atas tanah tersebut terlebih dahulu oleh kepala adat.  
 
Untuk tanah bekas hak milik adat yang berbentuk Girik (poin 1) di atas, jika pihak yang hendak melakukan proses penyertifikatannya merupakan pemilik asli yang tercantum dalam tanah adat tersebut, maka tidak diperlukan adanya jual beli terlebih dahulu.
 
Jika sudah terjadi pewarisan misalnya, maka harus didahului dengan pembuatan keterangan waris dan prosedur waris seperti biasa (silakan baca Pemilikan Tanah Secara Warisan dan Pemilikan Tanah Secara Warisan (2)).
 
Sedangkan jika perolehan haknya dilakukan melalui mekanisme jual beli, maka harus di ikuti lebih dahulu proses jual belinya sebagaimana diuraikan dalam artikel saya JUAL BELI & BALIK NAMA SERTIFIKAT.
 
Penyertifikatan tanah adat dalam istilah hukum pertanahan dikenal dengan pendaftaran tanah untuk pertama kali, yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar. Kegiatan ini ada dua jenis, pertama, pendaftaran tanah secara sistematis, yang diprakarsai oleh pemerintahYang kedua, pendaftaran tanah secara sporadis yang dilakukan mandiri/atas prakarsa pemilik tanah. Kedua kegiatan ini tidak perlu didahului dengan proses jual beli. Lebih lanjut bisa dibaca juga dalam artikel saya Pensertifikatan Tanah Secara Sporadik.
 
Kembali ke pertanyaan Anda, yang akan dilakukan adalah jenis yang kedua, yaitu secara sporadis, Anda dapat meminta bantuan PPAT yang wilayah kerjanya sesuai dengan letak objek tanah yang akan didaftarkan.
 
Dokumen-dokumen yang harus dilengkapi adalah:
1.    Surat Rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang akan didaftarkan.
2.    Membuat surat tidak sengketa dari RT/RW/Lurah.
3.    Surat Permohonan dari pemilik tanah untuk melakukan penyertifikatan (surat ini bisa diperoleh di Kantor Pertanahan setempat).
4.    Surat kuasa (apabila pengurusan dikuasakan kepada orang lain, misalnya PPAT).
5.    Identitas pemilik tanah (pemohon) yang dilegalisasi oleh pejabat umum yang berwenang (biasanya Notaris) dan/atau kuasanya, berupa fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, surat keterangan waris dan akta kelahiran (jika permohonan penyertifikatan dilakukan oleh ahli waris).
6.    Bukti atas hak yang dimohonkan: girik/petok/rincik/ketitir atau bukti lain sebagai bukti kepemilikan.
7.    Surat pernyataan telah memasang tanda batas.
8.    Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Tanda Terima Sementara (STTS) tahun berjalan.
 
Setelah semua dilengkapi dan didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat, maka rangkaian kegiatan pendaftaran tanah pun dimulai. Pihak Kantor Pertanahan akan meninjau lokasi dan mengukur tanah, menerbitkan gambar situasi/surat ukur, memproses pertimbangan Panitia A, pengumuman, pengesahan pengumuman, pemohon membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan luas yang tercantum dalam gambar situasi/uang pemasukan, dan yang terakhir, penerbitan sertifikat tanah. Biasanya proses ini memakan waktu tiga bulan, tetapi bisa juga lebih, tergantung kondisi di lapangan.
 
Demikian, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
Purnamasari, Irma Devita. Panduan Hukum Praktis Populer, Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak dalam Memahami Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010). 

0 komentar:

Posting Komentar