Selasa, 26 Mei 2015

PBI : Penggunaan Mata Uang Rupiah Masih Miliki Kelemahan

 PBI dinilai belum mengeluarkan yang  tegas.




JAKARTA, Suara Kaido, Direktur Institute Development of Economics dan Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mempertanyakan efektivitas implementasi Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Enny menilai, peraturan tersebut masih memiliki kelemahan.

Dia melihat belum ada sanksi tegas yang diatur di dalam PBI tersebut. Menurutnya, sanksi merupakan salah satu instrumen penting yang harus termuat dalam satu peraturan. Hal ini menjadi penentu efektivitas implementasi PBI. Ia mencontohkan, apakah BI dapat menindak sebuah korporasi yang melanggar aturan tersebut, dan sejauh apa hukumannya.

“Akan seberapa efektif kah peran PBI ini mengingat ranah BI kan hanya berada di sektor moneter. Padahal, untuk membuat suatu kebijakan tersebut efektif harus ada sanksi yang diberikan bagi yang melanggar,” tutur Enny, Selasa (26/5).

Sanksi yang belum jelas dan dukungan aparat penegak hukum yang belum memadai itu, membuat PBI di mata Enny masih belum efektif. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa masih ada penggunaan transaksi dalam bentuk valas yang terjadi di Pelindo, sejumlah pelayanan kelas eksekutif, dan juga agen-agen travel internasional. Bahkan, potensi pelanggaran itu ditaksirnya mencapai AS$6 miliar per bulan.

"Selama ini kan tidak terdeteksi. Ternyata banyak juga transaksi yang menggunakan dolar di dalam negeri yang diperkirakan mencapai 6 miliar dolar AS per bulan. Itu kan besar sekali sekali," ujarnya.

Tak hanya sanksi, menurutnya, adanya aturan mengenai pengecualian dalam PBI bisa menghambat efektivitas PBI. Ia mengkritisi, di dalam PBI terdapat ketentuan yang memperbolehkan untuk tidak menggunakan rupiah dalam beberapa kegiatan ekonomi. Misalnya, pembangunan infrastruktur strategis.

“Apa urgensi dari adanya pengecualian tersebut, dan harus dijawab BI karena kewajiban penggunaan rupiah di seluruh wilayah Indonesia sudah dalam amanat UU,” tandasnya.

Menurut Enny, pelaksanaan PBI akan efektif jika didukung oleh perangkat penegak hukum. Dia yakin peran penegak hukum sangat penting dalam mengawasi pelaksanaan PBI ini. Pasalnya, apabila peraturan tidak memiliki sanksi yang jelas dan tidak diproses, maka pada kenyataannya akan banyak yang melanggar.

“Ketegasan hukum diperlukan dalam mendukung PBI tersebut,” tegasnya.

Harapan mengenai efektivitas keberlakuan PBI tersebut, menurut Enny, dilatarbelakangi ekspektasi atas tujuan dari aturan itu. Ia mengharapkan dengan terbitnya PBI tersebut, setidaknya mampu mengendalikan permintaan dolar di dalam negeri. Menurutnya, hal itu merupakan semangat yang baik dalam upaya penggunaan valuta asing di dalam perekonomian Indonesia.

Deputi Direktur Departemen Hukum BI, Bambang Sukardi Putra, mengatakan bahwa penggunaan valuta asing, terutama dolar AS, untuk pembelian barang dan jasa memang cukup tinggi. Bambang menyebut, tahun lalu saja, porsi penggunaan dolar AS lebih dari separuh transaksi. Penggunaan dolar AS tersebut tak hanya dilakukan oleh korporasi, tapi juga perorangan.

“Pada tahun 2014 mencapai 52 persen, besarnya mencapai 6,5 miliar dolar AS per bulan,” katanya.

Untuk menekan penggunaan dolar AS tersebut, ia mengatakan dalam mengimplementasikan PBI pihaknya akan bekerjasama dengan Menteri BUMN. Hal itu dilakukan agar seluruh badan usaha milik negara menggunakan rupiah, bukan dolar AS dalam transaksi.  Selain itu, BI juga akan melakukan kerjasama dengan IATA. Sebab banyak travel agent juga menawarkan biaya perjalanan termasuk perjalanan umrah dengan dolar AS.

“Kami tengah menyiapkan MoU dengan Menteri BUMN dan IATA,” jelasnya. ( Marthen Yeimo/ SK)
 

0 komentar:

Posting Komentar