Jumat, 05 Juni 2015

Metamorfosis "Wajah" Praperadilan

Sebelum putusan Hakim Sarpin, sudah ada putusan-putusan praperadilan lain yang menerabas Pasal 77 KUHAP.




Putusan Praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi dinilai sebagai momentum

Dahulu, upaya praperadilan tak sepopuler sekarang. Sebagian kalangan memandang praperadilan tidak lebih dari pemeriksaan formil terkait sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi yang diajukan tersangka atau pihak ketiga berkepentingan.
Seperti yang dialami tersangka kepemilikan narkoba, Susandhi bin Sukatma alias Aan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan awal 2010 lalu. Hakim tunggal Mustari mengandaskan praperadilan Aan dengan menyatakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan aparat Polda Metro Jaya sudah sesuai Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Mustari juga menolak memeriksa sah atau tidaknya penggeledahan karena penggeledahan tidak masuk ranah praperadilan sebagaimana diatur Pasal 77 KUHAP. Padahal, penggeledahan Aan dilakukan tanpa izin penggeledahan dan dilakukan warga sipil bernama Victor B Laiskodat. Alhasil, dalam sidang pokok perkara, dakwaan Aan dinyatakan batal demi hukum.
Praperadilan Aan merupakan salah satu potret "wajah" praperadilan masa lalu sebelum adanya putusan praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi yang membatalkan penetapan tersangka Komjen (Pol) Budi Gunawan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperluas objek praperadilan meliputi penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.
Jejak Sarpin ini diikuti oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Selatan lainnya, sepertiYuningtyas Upiek Kartikawati yang membatalkan penetapan tersangka mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan Haswandi yang membatalkan penyidikan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo. Bahkan, Haswandi juga menyatakan penyelidikan Hadi tidak sah.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Chudry Sitompul mengatakan, keberanian para hakim tersebut muncul setelah adanya putusan Sarpin dan putusan MK. Ia menganggap putusan Sarpin merupakan momentum yang membuat hakim-hakim berani melawan opini bahwa yang tidak pro lembaga antikorupsi berarti tidak pro pemberantasan korupsi.
"Padahal, penegak hukum yang memberantas korupsi itulah yang seharusnya dibenahi, termasuk KPK. Kalau dulu, walau KPK banyak kelemahan dalam persoalan administratif, hakim tidak berani. Hakim takut, sehingga mengikuti saja. Tapi, setelah ada putusan Sarpin, hakim-hakim itu jadi berani," katanya kepada hukumonline.
Akan tetapi, sebelum putusan Sarpin, sebenarnya sudah ada sejumlah putusan praperadilan yang tidak "biasa". Antara lain, putusan praperadilan tersangka korupsi bioremediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah, serta putusan praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Gorontalo Corruption Watch (GCW), dan anggota DPD Bengkulu Muspani.
Ada pula beberapa putusan praperadilan lain yang juga "menerabas" Pasal 77 KUHAP, yaitu putusan praperadilan PT Inti Indosawit Subur (anak usaha Asian Agri) dan putusan praperadilan PT Newmont Minahasa Raya. Beberapa contoh putusan praperadilan tersebut menunjukan adanya metamorfosis "wajah" praperadilan.
Dari yang semula hanya memeriksa sesuai ketentuan Pasal 77 KUHAP secara kaku, kemudian mulai "malu-malu" menerabas Pasal 77 KUHAP, hingga akhirnya penerabasan itu dikukuhkan dengan adanya putusan MK yang memperluas objek praperadilan. Berikut perubahan "wajah" praperadilan yang dirangkum oleh hukumonline.
1. Penetapan tersangka tidak sah
Putusan Sarpin mungkin menjadi putusan praperadilan yang paling fenomenal di tahun 2015. Putusan Sarpin terlihat mencolok, mengingat subjek pemohon praperadilan adalah seorang calon Kapolri. Selain itu, putusan Sarpin memicu gelombang praperadilan, khususnya praperadilan yang diajukan tersangka kasus korupsi di KPK.
Putusan Sarpin diikuti pula oleh Haswandi dan Upiek. Namun, sebenarnya, sebelum putusan Sarpin, telah ada putusan serupa pada November 2012. Hakim tunggal Suko Harsono menyatakan tindakan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan tersangka kasus korupsi bioremediasi Chevron, Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka tidak sah.
Terhadap putusan praperadilan ini, Kejagung sempat berupaya mengajukan kasasi. Pengajuan kasasi Kejagung ditolak di PN Jakarta Selatan, sehingga Kejagung mencoba meminta pembatalan dari Mahkamah Agung (MA) dan melaporkan Suko ke Badan Pengawasan MA. Akhirnya, putusan praperadilan tersebut dibatalkan dan Suko dikenakan sanksi.
2. Penyitaan, penggeledahan, dan pemasangan police line tidak sah
Koordinator LSM MAKI, Boyamin Saiman yang juga pemilik "Boyamin Saiman Law Firm" pernah mempraperadilankan Polri karena pemasangan garis polisi (police line) di Fasilitas Penunjang Satuan Rumah Susun (Fasum) Apartemen Slipi. Pengurus dan penghuni memberikan kuasa kepada kantor hukum Boyamin untuk memperaperadilankan Polri.
Pasalnya, kegiatan penggeledahan dan penyitaan yang dilanjutkan dengan pemasangan police line tersebut dilakukan aparat Kepolisian tanpa memberikan lampiran atau salinan apapun kepada pemohon. Alhasil, hakim tunggal Belman Tambunan mengabulkan praperadilan para pemohon yang diajukan ke PN Jakarta Barat pada Juli 2013.
Belman menyatakan tindakan penyitaan yang dilakukan Polres Jakarta Barat terhadap Fasum Apartemen Slipi tidak sah. Ia juga memerintahkan Polres Jakarta Barat melepaskan penyegelan ruang-ruang Fasum dan pintu masuk, serta mencabut garis polisi di ruang serbaguna, sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Senada, pada 2008, PN Jakarta Selatan juga mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Direktur Utama PT IIS Semion Tarigan. Berdasarkan putusan praperadilan No. 10/Pld.Prap/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 1 Juli 2008, penyitaan yang dilakukan Dirjen Pajak terhadap ratusan dus dokumen perpajakan 15 anak usaha Asian Agri dianggap tidak sah.
3. Memerintahkan melanjutkan penanganan perkara yang berlarut-larut
Pada November 2010, Muspani yang ketika itu menjabat sebagai anggota DPD Bengkulu mempraperadilankan berlarut-larutnya pelimpahan perkara Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin ke PN Jakarta Pusat. Muspani menduga Kejagung telah menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara Agusrin di secara diam-diam.
Akan tetapi, dalam persidangan, Kejagung membantah telah menghentikan perkara Agusrin. Oleh karena itu, hakim tunggal Supraja memerintahkan Kejagung untuk segera melimpahkan perkara Agusrin ke pengadilan. Dengan demikian, Supraja mengakui penanganan "perkara yang berlarut-larut tidak dilimpahkan ke pengadilan" sebagai objek praperadilan.
4. Menyatakan penyidik Polri tidak berwenang
Putusan praperadilan petinggi PT Newmont Minahasa Raya (NMR) pada 2005 juga menjadi salah satu putusan praperadilan yang mencolok kala itu. Pasalnya, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Johanes E Binti menyatakan status tahanan kota dan wajib lapor enam orang petinggi NMR tidak sah menurut hukum.
Dalam pertimbangannya, Johanes berpendapat, penyidik Polri dinilai tidak berwenang melakukan penyidikan, melainkan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Ia menganggap penyidikan yang dilakukan penyidik Polri tidak sah melanggar ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama Penegakan Hukum Lingkungan Satu Atap (SKB).
Sama halnya dengan putusan praperadilan tersangka kasus gula impor ilegal, Abdul Waris Halid. Pada Juli 2004, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Effendi mengabulkan permohonan praperadilan Abdul. Effendi memerintahkan Mabes Polri membebaskan Abdul karena tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan Mabes Polri tidak sah.
Effendi menyatakan penyidik Polri tidak berwenang menangani kasus gula impor ilegal. Penyidik yang berwenang menangani kasus Abdul adalah PPNS Bea dan Cukai. Kewenangan penyidikan oleh PPNS Bea dan Cukai itu sesuai dengan ketentuan Pasal 112 UU No.10 Tahun 1995 jo Pasal 6 UU No.8 tahun 1981 jo PP No.55 tahun 1996.
5. Mengakui legal standing LSM
LSM MAKI tercatat beberapa kali mengajukan upaya praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Salah satunya, upaya MAKI mempraperadilankan berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi Sisminbakum atas nama tersangka Yusril Ihza Mahendra di Kejagung. Namun, permohonan MAKI ditolak hakim tunggal Ari Jiwantara.
Walau begitu, Ari mengakui legal standing MAKI sebagai pihak ketiga berkepentingan sebagai pemohon praperadilan. Sebelumnya, pihak ketiga berkepentingan hanya dimaknai sebagai saksi korban/pelapor. Namun, putusan tersebut memperluas makna pihak ketiga berkepentingan. Pengakuan ini diperkuat dengan putusan MK tanggal 8 Januari 2013.
Tak hanya MAKI, legal standing LSM Gorontalo Corruption Watch (GCW) sebagai pemohon praperadilan juga diakui Mien Trysnawati, hakim tunggal yang menyidangkan praperadilan GCW di PN Gorontalo. Mien mengabulkan praperadilan GCW dan membuka kembali penyidikan kasus dugaan korupsi mantan Gubernur Gorontalo Fadel Mohammad.
Sumber : Hukum Online

0 komentar:

Posting Komentar